Syarat Dan Kaidah Berdakwah kepada Aqidah Salafush Shalih Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Ketahuilah wahai saudaraku seiman, bahwa dakwah kepada aqidah Salafush Shalih tidak akan teralisasi kecuali dengan tiga syarat :
Syarat Dan Kaidah Berdakwah kepada Aqidah Salafush Shalih Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Ketahuilah wahai saudaraku seiman, bahwa dakwah kepada aqidah Salafush Shalih tidak akan teralisasi kecuali dengan tiga syarat :
Pertama : Aqidah yang benar
Selamat
aqidahnya. Maksudnya, hendaklah kita ber’aqidah sebagaimana aqidah
salaf tentang tauhid Rubuwiyah, Uluhiyyah, Asma’ dan Shifat, serta semua
yang berkaitan dengan masalah aqidah dan keimanan.
Kedua : Manhaj yang benar
Yaitu
memahami al-Qur’an dan as-Sunnah sesuai dengan pemahaman Salafush
Shalih, mengikuti prinsip dan kaidah yang telah ditetapkan.
Ketiga : Pengalaman yang benar
Seorang
yang berdakwah, mengajak ummat kepada Islam yang benar, maka ia harus
beramal dengan benar yaitu beramal semata-mata ikhlas karena Allah dan
ittiba’(mengikuti) contoh Rasulullah saw, tidak mengadakan bid’ah baik
dalam I’tiqad (keyakinan), perbuatan atau perkataan.
Sesungguhnya
dakwah ke jalan Allah Ta’ala merupakan amal yang paling mulia dan
ibadah yang paling tinggi serta merupakan kekhususan dari para utusan
Allah swt dan tugas dari para wali (Allah) dan orang-orang yang shalih
yang paling istimewa. Allah Ta’ala berfirman :
“Siapakah
yang paling baik perkataanya daripada orang yang menyeru kepada Allah,
mengerjakan amal yang shalih dan berkata : “Sesungguhnya saya termasuk
orang-orang yang berserah diri.” (Fushshilat :33).
Rasulullah
saw mengajarkan kepada kita tentang bagaimana seharusnya kita mengemban
dakwah ini kepada manusia, bagaimana metode menyampaikannya. Di dalam
sejarah peri kehidupan beliau saw banyak pelajaran yang dapat kita ambil
bagi orang yang menghendakinya.
Maka
wajiblah bagi para juru dakwah dalam menyerukan aqidah Salaf agar
mengikuti manhaj Nabi saw dalam berdakwah. Tidak diragukan lagi bahwa
didalam manhaj beliau saw terdapat keterangan dan penjelasan yang benar
tentang ushub (metode) berdakwah kepada Allah, sehingga mereka tidak
membutuhkan lagi metode-metode bid’ah yang diada-adakan oleh sebagian
manusia. Yang menyeslisihi manhaj dan peri kehidupan beliau saw.
Oleh
karena itu, wajib bagi para juru dakwah untuk menyeru ke jalan Allah
Ta’ala seperti yang telah dilakukan generasi Salafush Shalih dengan
memperhatikan perbedaan waktu dan tempat.
Berangkat
dari pemahaman yang benar ini, maka saya berusaha untuk menyebutkan
sebagian kaidah dan landasan bagi para juru dakwah, dengan harapan
semoga hal ini bermanfaat dalam perbaikan ummat yang kita idamkan :
Kaidah dan Landasan para juru Dakwah
1. Ketahuilah bahwa dakwah kepada Allah Ta’ala itu merupakan suatu jalan keselamatan baik di dunia maupun di akhirat. “Sungguh
seseorang yang diberikan hidayat oleh Allah melalui jalan kamu hal itu
lebih baik bagimu daripada unta yang merah (pilihan).” (Mutafaq
‘alaihi,) (Sebagaimana hadits yang diriwayatan oleh al-Bukhari no.2942
dan Muslim no. 2406 (Syarah Muslim lin Nawawi (XV/179), cet. Daar Ibnu
al-Haitsam) dari Sahabat Sahl bin Sa’ad, dengan lafazh: “Maka demi
Allah, sungguh seseorang yang diberikan hidayah oleh Allah melalui
dirimu, hal itu lebih baik daripada unta yang merah (harta yang paling
berharga) bagimu”) Pahala akan diperoleh hanya dnegan sekedar
berdakwah dan tidak terkait dengan respon (obyek dakwah). Juru dakwa
tidak dituntut untuk mereaisasikan kemenangan agama Islam karena hal ini
adalah urusan Allah dan berada di tangan-Nya. Akan tetapi bagi juru
dakwah dituntut untuk mencurahkan kemampuannya dalam berdakwah.
Bagi
juru dakwah memperisapkan diri merupakan syarat. Pertolongan Allah
merupakan janji. Sedang dakwah merupakan salah satu bentuk dari jihad,
terdapat titik temu antara berdakwah dan jihad dalam tujuan dan hasil.
2.
Menegaskan dan memperdalam manhaj Salafush Shalih yang tertuang dalam
manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang tekenal dengan wasathiyah
(pertengahan), syumulliyah (universalitas), I’tidal (moderat) dan jauh
di ifrath (berlebihan) dan tafrith (melalaikan).
Landasannya
adalah ilmu syar’I yang konsisten terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah yang
shalih. Landasan inilah yang memelihara dari ketergelinciran dengan
anugerah dari Allah dan memberikan cahaya bagi orang yang bertekad bulat
untuk berjalan di atas jalan para Nabi.
3.
Berupaya untuk mewujudkan jama’atul Muslimin (jama’ah kaum Muslimin) dan
menyatukan kalimat mereka diatas kebenaran, yang bersumber dari manhaj
yang menyatakan : “Kalimatut tauhid (Laa Ilaaha Illallaah) merupakan
pokok untuk menyatukan brisan.” Dengan menjauhkan diri dari segala
sesuatu yang dapat memecah belah kelompok-kelompok Islam pada saat ini
seperti tahazzub (membuat partai-partai) yang tercela, yang mencerai
beraikan barisan kaum Muslimin bahkan menjauhkan antara hati mereka.
Pemahaman
yang benar bagi setiap jama’ah dakwa kepada Allah adalah : Suatu
jama’ah dari kaum Muslimin tidak dapta disebut jama’ah kaum Muslimin
4.
Loyalitas itu wajib untuk agama bukan untuk para tokoh; karena kebenaran
akan kekal sedang para tokoh akan wafat. Kenalilah kebenaran itu
niscaya kamu akan mengenal penganutnya.
5.
Menyeru untuk saling tolong menolong dan (menyeru) kepada segala sesuatu
yang dapat mewujudkannya. Menjahi dari khilaf (perselisihan) dan dari
segala sesuatu yang dapat menyebabkan khilaf tersebut. Ohendaknya satu
sama lain harus tolong menolong dan nasehat menasehati dalam hal yang
kita perselisihkan selama hal tersebut dalam masalah khilafiyah dengan
tanpa saling membenci.
Prinsip
yang harus ditegakkan diantara kelompok-kelompok Islam adalah : saling
bekerja sama dan bersatu. Jika hal tersebut tidak dapat diwujudkan, maka
hendaknya saling hidup damai berdampingan; kalau itupun tidak, maka
yang keempat adalah kebinasaan,
6.
Tidak fanatik kepada jama’ah yang dianutnya. Bersikap menyambut apapun
upaya yang terpuji yang telah diberikan oleh orang lain, selama sesuai
dengan syari’at lagi jauh dari ifrath dan tarfith.
7.
Perselisihan dalam masalah firi’ (cabang-cabang) syari’ah menuntut sikap
lapang dada dan dialog, bukan permusuhan dan pembunuhan.
8. Melakukan introspeksi, koreksi yang kontinyu dan evalusi yang berkesinambungan.
9.
Belajar adab berselisih pendapat, memperdalam dasar-dasar diskusi dan
menyatakan bahwa kedua-duanya adalah penting dan perlu seharusnya
dimiliki sarananya.
10. Jauh dari sikap memvonis secara umum dan berhati-hati dalam masalah ini serta tidak adil dalam menghukumi setiap pribadi.
Termasuk keadilan adalah menghukumi berdasarkan makna-makna (yang tersirat) bukan yang tersurat.
11.
Membedakan antara tujuan dan sarana; misalkan dakwah adalah tujuan,
sedangkan pergerakan, jama’ah dan markas (Islamic Center) dan lain-lain
merupakan sarana.
12. Teguh dalam tujuan fleksibel dalam sarana berdakwah sesuai yang diperbolehkan oleh syari’at.
13.
Memperhatikan masalah prioritas dan menyusun segala sesuatu secara
berurutan sesuai dengan kepentingannya. Jika perlu ada sesuatu masalah
yang sekunder, maka harus memperhatikan waktu, tempat dan kondisi yang
tepat.
14.
Tukar-menukar pengalaman diantara para juru dakwah adalah hal yang
penting an membangun diatas pengalaman orang yang mendahului. Seorang
juru dakwah hendaknya jangan memulai dair kosong (nol). Bukanlah dia
orang pertama yang tampil berkhidmah kepada agama ini dan juga bukan
orang yang terakhir. Karena sekali-kali tidak akan ada orang yang tidak
perlu nasehat dan petunjuk; atau tidak akan ada orang yang memonopoli
seluruh kebenaran dan sebaliknya.
15.
Menghormati para ulama ummat yang dikenal dengan konsistensinya terhadap
as-Sunnah dan ‘aqidah yang benar, mengambil ilmu darinya,
mengormatinya, tidak bersikap sombong padanya, menjaga kehormatannya,
tidak meragukan niat baiknya, tidak fanatik kepadanya dan tidak menuduh
mereka. Karena setiap orang alim ada benar dan salahnya. Kealahan dari
orang laim ter sebut ditolak, tanpa mengurangi keutamaan dan kdudukannya
selama dia seorang mujtahid.
16.
Berbaik sangka kepada kaum muslimin dan membawa perkataannya kepada
pengertian yang terbaik serta menuntuk cacat mereka, tanpa melalaikan
untuk memberikan keterangan kepada orang yang bersangkutan.
17.
Jika kebaikan seseorang lebih banyak, maka tidak disebut kejelekannya
kecuali kalau ada maslahatnya. Jika kejelekannya lebih banyak, maka
kebaikannya tidak disebut, karena takut menjadikan rancu perkaranya bagi
orang awam.
18. Menggunakan kata-kata yang syar’I karena lebih tepat dan sesuai, dan menjauhi kata-kata asing, dan pelik seperti : musyawarah bukan demokrasi.
19.
Sikap yang benar atas madzhab-madzhab fiqih : bahwa ia merupakan
kekayaan fiqih yang agung, wajib bagi kita mempelajarinya, mengambil
manfaat darinya dan tidak fanatik serta tidak menolaknya secara
keseluruhan. Kit ahendaknya menjauhi pendapat yang lemah dan mengambil
yang haq dan benar menurut tuntunan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan
pemahaman Salafush Shalih.
20.
Menetapkan sikap yang benar terhadap dunia bara dan peradabannya, yaitu
dengan mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan empiris mereka sesuai
dengan kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan agama kita yang agung ini.
21. Mengakui urgensi musyawarah dalam berdakwah dan keharusan juru dakwah mempelajari tentang fiqih musyawarah.
22. Suri tauladan yang baik. Seorang juru dakwah merupakan cerminan dan contoh hidup dalam misi dakwahannya.
23. Mengikuti metode hikmah dan nasehat yang baik serta menjadikan firman Allah :
“Serulah
(manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik ….” (An-Nahl : 125)
sebagai neraca dalam berdakwah dan hikmah untuk diikuti.
24.
Berhias diri dengan kesabaran, karena itu merupakan sifat dari para Nabi
dan utusan Allah serta penunjang keberhasilan dalam dakwahnya.
25.
Jauh dari tasyaddud (mempersulit) dan berhati-hati dari penyakit
tasyaddud dan hasilnya yang negatif. Berbuat kemudahan dan lemah lembut
dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh syari’at.
26.
Seorang muslim selalu mencari kebenaranl dan k eberanian dalam
mengatakan kebenaran sangat dibutuhkan dalam berdakwah. Jika kamu lemah
untuk mengatakan yang benar maka janganlah mengatakan yang bathil.
27.
Berhati-hati terhadap futur (patah semangat) dan hasilnya yang negatif
serta tidak lalai dalam mempelajari sebab dan solusinya.
28.
Waspada terhadap segala isu (kabar angin) dan menyebarluaskannya serta
hal-hal negatif yang ditimbulkannya pada masyarakat Islam.
29.
Barometer keistimewaan seseorang adalah takwa dan amal shalih; dan
mengenyampingkan segala fanatisme jahiliyah seperti fantisme daerah,
keluarga, kelompok maupun jama’ah.
30.
Manhaj (metode) yang afdhal dalam berdakwah adalah memulai dengan
mengemukakan hakikat Islam yang manhajnya. Bukan mendatangkan syubuhat
lalu membatahnya. Kemudian memberikan kepada manusia neraca kebenaran,
mengajak mereka pada pokok-pokok agama dan berbicara kepada mereka
menurut kemampuan akal pikir mereka. Mengetahui celah untuk memasuki
jiwa mereka merupakan pintu masuk untuk memberikan hidayah kepada
mereka.
31.
Para juru dakwah dan pergerakan Islam hendaknya senantiasa menjaga
hubungan dengan Allah Ta’ala, mempersembahkan upaya manusiawi, meminta
pertolongan kepada Allah Ta’ala dan meyakini bahwa Allah-lah yang
membimbing dan mengarahkan perjalanan dakwah serta Dialah yang akan
melimpahkan taufik bagi para da’i. sesungguhnya agama dan segala urusan
ini adalah milik Allah Ta’ala.
Itulah beberapa kaidah dan manfaat yang merupakan buah pikiran dari pengalaman kebanyakan para ulama dan juru dakwah.
Hendaknya
kita ketahui dengan yakin bahwa para juru dakwah seandainya mereka
mengerti kaidah-kaidah (aturan-aturan) ini dan mengamalkannya, pasti
mereka akan mendapatkan kebaikan yang banyak dalam perjalanan dakwah.
Hendaknya
seluruh juru dakwah mengetahui bahwa tidak ada keberhsailan dalam
dakwahnya kecuali dengan menjalin hubungan dengan Allah Ta’ala,
bertawakkal kepada-Nya dalam segala urusan, memohon Taufiq-Nya, niat
yang ikhlash, bersih dari keinginan hawa nafsu dan menjadikan segala
perkara hanya milik Allah Ta’ala.
Sumber: Diadaptasi dari Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari, Al-Wajiiz fii Aqiidatis Salafis Shaalih (Ahlis Sunnah wal Jama'ah), atau Intisari Aqidah Ahlus Sunah wal Jama'ah), terj. Farid bin Muhammad Bathathy (Pustaka Imam Syafi'i, cet.I), hlm.255 – 262.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar