Selasa, 02 April 2013

Mahasiswa dan Sejarah Pergolakan Politik

Perjalanan politik di republic ini banyak sekali mengalami pergolakan, bahkan keruntuhan yang terjadi diprakarsai oleh gerakan mahasiswa. Sejarah mencatat bahwa sejak era pascakemerdekaan, mahasiswa menjadi bagian penting dalam politik pemerintahan di Indonesia. Peristiwa runtuhnya orde lama, orde baru dan reformasi menjadi bukti bahwa mahasiswa merupakan alat sosial control yang efektif bagi pemerintah.

Mahasiswa merupakan penghubung antar penguasa dan rakyat jelata yang memiliki kapasitas intelektual yang lebih dibandingkan orang-orang seusianya. Walaupun secara kuantitatif rasionya sangat ekstrem dengan jumlah pemuda pada umumnya. Tetapi dengan kapasitas intelektual dan jiwa organisatoris yang dimiliki mahasiswa, mereka mampu menjadi motor dalam menumbangkan rezim yang berkuasa di negeri ini.
            
Pada perkembangannya, sejak pascakemerdekaan muncul kebutuhan akan aliansi diantara kelompok mahasiswa yang ada, diantaranya adalah dengan terbentuknya PPMI (perserikatan perhimpunan mahasiswa Indonesia) pada tahun 1947.

Selanjutnya pada masa demokrasi liberal (1950- 1959) dengan system kepartaian yang sangat majemuk, organisasi kemahasiswaan ekstra kampus kebanyakan merupakan afiliasi atau organisasi dari partai-partai politik peserta pemilu. Misalnya PMKRI (perhimpunan mahasiswa katolik republic Indonesia) dengan partai Katolik, GMNI (gerakan mahasiswa nasionalis Indonesia) dekat dengan PNI, CGMI (contentrasi gerakan mahasiswa Indonesia) dekat dengan PKI, GEMSOS (gerakan mahasiswa sosialis) dekat dengan PSI, HMI (himpunan mahasiswa Islam) dekat dengan Masyumi, PMII ( pergerakan mahasiswa Islam Indonesia) dengan Partai NU, dan lain- lain.

Pada tahun 1965- 1966, gerakan mahasiswa dan pemuda terlibat secara aktif  dalam perjuangan mengakhiri orde lama dan membangun orde baru. Gerakan ini sering dikenal dengan istilah angkatan ’66 yang menjadi tonggak kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional. Pola inipun merubah dari sebelumnya yang masih bersifat primordial dan masih bersifat kedaerahan menjadi lebih Nasionalis.

Gerakan ini mendapat kepercayaan dari masyarakat dengan mengangkat issu bahaya laten komunis yang diotaki oleh PKI. Setelah era orde lama berakhir dan lahir orde baru, mereka (aktivis ’66) mendapatkan ‘hadiah’ untuk dapat masuk kedalam system pemerintahan, mereka diberi kursi di DPR/ MPR dan menjadi pejabat pemerintahan.

Pada masa ini, ada salah satu tokoh aktivis yang sangat idealis dan sangat tegas, hingga saat ini, dia menjadi idola dan panutan bagi mahasiwa/ aktivis dengan jiwa idealis dan prinsip yang selalu dipegang teguh. “lebih baik terasingkan daripada menyerah pada kemunafikan” itulah prinsip yang membuatnya begitu dikenang dengan idealismenya hingga saat ini, dialah SOE HOK GIE.

Hingga tahun 1974, realitas berbeda dihadapi antara aktivis ’66 dengan generasi ’74. Angkatan ’66 sangat dekat dengan militer sedangkan aktivis ’74 sangat konfrontatif dengan militer. Sebelum peristiwa malari tahun 1974 meletus, sebetulnya sejak awal tahun 1970 mahasiswa telah banyak mengkritisi dan mengkoreksi terhadap praktek kekuasaan rezim orde baru. Penyelenggaraan pemilu yang sarat dengan kecurangan yang dilakukan GOLKAR pada pemilu pertama dimasa orde baru hingga penolakan pembangunan Taman Mini Inonesia Indah pada tahun 1972 karena dianggap menindas rakyat kecil dengan menggusur tempat tinggal mereka dilokasi tersebut. Proyek ini pun dinilai sebagai pemborosan anggaran karena memakan dana yang sangat besar dianggap tidak perlu ditengah kondisi bangsa yg sedang terpuruk serta dibiayai oleh hutang luar negeri.             

Dipicu oleh kenaikan harga BBM dan reaksi terhadap praktek korupsi yang semakin menggurita, aksi- aksi protes lainya bermunculan, dan yang mungkin paling dikenal adalah suara mahasiswa yang menuntut kenaikan BBM dan penolakan terhadap korupsi, gerakan ini kemudian dikenal dengan gerakan “Mahasiswa Menggugat” yang dimotori oleh Arief Budiman.
           
Peristiwa malari merupakan sebuah klimaks dari gelombang protes dan gerakan- gerakan mahasiswa ‘74. Normalisasi Kegiatan Kampus/ Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/ BKK) Setelah mengalami klimaks pada tahun 1978, praktis gerakan kemahasiswaan setelah itu meredup, hal ini terjadi karena memang disengaja oleh pemerintah saat itu dengan membentuk dan memberlakukan NKK/ BKK secara paksa.

Kebijakan ini dilaksanakan berdasarkan SK No.0156/U/1978 sesaat setelah Daoed Joesoef dilantik sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan pada tahun 1978. Konsep ini mencoba mengarahkan mahasiswa pada jalur yang bersifat akademis saja dan berusaha menjauhkan mahasiswa dari aktivitas politik karena dinilai dapat membahayakan posisi rezim kala itu. Pemerintah melalui Pangkopkamtib Soedomo, melakukan pembekuan atas Lembaga Dewan Mahasiswa, sebagai gantinya, pemerintah membentuk struktur organisasi baru yang disebut BKK.

Berdasarkan SK menteri P&K, No.037/U/1979 kebijakan ini mengatur tentang bentuk susunan lembaga organisasi kemahasiswaan dilingkungan perguruan tinggi dan dimantapkan dengan penjelasan teknis melalui instruksi Dirjen pendidikan tinggi tahun 1978 tentang pokok- pokok pelaksanaan penataan kembali kegiatan kemahasiswaan di perguruan tinggi.

Kebijakan BKK ini secara implisit sebenarnya melarang dihidupkannya kembali pemerintahan mahasiswa dan hanya mengijinkan pembentukan organisasi (senat mahasiswa fakultas) dan badan perwakilan mahasiswa. Namun hal yang terpenting dari SK ini adalah pemberian wewenang kepada rector dan pembantu- pembantunya untuk menentukan kegiatan mahasiswa sebagai wujud tanggung jawab pembentukan, pengarahan dan pengendalian kegiatan kemahasiswan.

Memasuki awal 1990 an, dibawah Mendikbud Fuad Hassan, kebijakan NKK/ BKK dicabut dan sebagai gantinnya dibuatkan PUOK (pedoman umum organisasi kemahasiswaan), melalui PUOK ini, ditetapkan bahwa organisasi kemahasiswaan intra kampus yang diakui adalah Senat Mahasiswa Fakultas dan UKM.

Dikalangan Mahasiswa, baik secara personal maupun kelembagaan terjadi pro- kontra dalam menyikapi SK tersebut. Oleh mereka yang menerima, diakui konsep ini memiliki banyak kelemahan namun dipercaya dapatb menjadi basis konsolidasi kekuatan gerakan mahasiswa. Bagi mereka yang tidak menerima, bahwa konsep ini hanyalah agenda terselubung untuk menarik mahasiswa kekampus dan memotong kemungkinan gerakan mahasiswa yang beraliansi dengan kekuatan diluar kampus.

Setelah sekian lama dibendungdan dibungkam, akhirnya gerakan mahasiswa kembali meledak dengan ‘ledakan’ yang lebih dahsyat dari gerakan gerakan sebelumnya, Presiden Soeharto dipaksa meletakkan jabatannya sebagai presiden RI setelah sekian lama berkuasa dan menggilanya praktek KKN hingga menyebabkan krisis ekonomi yang hinga kini belum bisa dipulihkan.

Rezim ini mengambil tindakan represif untuk menghadapi gelombang demonstrasi besar- besaran yang dilakukan mahasiswa diberbagai daerah, korban pun berjatuhan aktivis aktivis reformasi banyak yang gugur. Diantaranya adalah Peristiwa Cimanggi, Peristiwa Gejayan, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi II, Tragedi lampung, dan sebagainya. Gelombang ini terus terjadi hingga menjelang pemilu 1999.

diolah dari berbagai sumber.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar